Baru saja menyelesaikan satu film original Netflix berjudul A Normal Woman. Film bergenre drama dan psychological thriller ini dibintangi Marissa Anita, Dion Wiyoko, Gisella Anastasia, sampai aktris senior, Widyawati. Singkatnya, film ini berkisah tentang Mila (Marissa Anita) sebagai sosok perempuan yang hidup dalam standar istri dan ibu yang sempurna.
Konflik ceritanya pun bermacam-macam, ada dari ibu kandung yang materialistis, ibu mertua yang perfeksionis (keduanya sama-sama toxic), punya suami juga anak mami, anak yang rebel karena menjadi korban bullying, hingga pada puncaknya ketika Mila harus bertarung mengatasi trauma masa lalu yang membuat dirinya berperilaku abnormal. Asumsi saya, tokoh Mila ini dibuat mengalami psikosomatis, akibat stress berlebih timbul reaksi fisik yang ekstrim pada diri Mila. Jadi memang gak ada hantu ataupun magic di film ini.
Ide cerita dari film ini mengangkat mental health issue, patriarchy in society, racial issue, dan bahkan bagaimana lingkungan yang toxic lama-lama bisa membunuh. Namun, yang bikin jelek, menurut saya, alur cerita yang cenderung loncat-loncat. Beberapa konfliknya juga terkesan maksa dan diada-adain. Trauma di masa lalu Mila (dalam versi anak-anak) yang menjadi background story juga gak begitu matang untuk diangkat.
Bagi kalian yang sudah menonton sampai di pertengahan cerita dan mengira bahwa Mila ada affair dengan sosok tukang kebun di rumahnya, berarti saya gak sendiri - yakin pasti ada yang mikir begini. Gak paham juga kenapa harus si tukang kebun itu karakternya kaya begitu, bikin curiga aja😆
Saya pribadi tidak membuat review khusus film A Normal Woman ini karena jujur jalan cerita yang cukup hmmm (sorry, Mommy Marissa Anita, in this movie your performance is top notch but not for the whole story😂). Hampir 2 jam menonton film ini, agak kecewa karena saya rasa konfliknya seharusnya bisa lebih seru dari ini. Overall cuma bisa kasih 5/10. Tapi saya tetap akan mengambil beberapa insight yang memang cukup menarik. Meski begitu, tetap spoiler alert ya. Jadi, bookmark dulu saja kalau kalian masih mau nonton filmnya, nanti balik lagi hehe.
Body - Mind - Soul is Matter
Salah satu ide cerita yang saya cukup sukai di film ini adalah mengangkat bagaimana stigma masyarakat terhadap orang-orang dengan mental health issue itu sama dengan orang yang kurang iman, a.k.a jauh dari Tuhan. Ada adegan dimana Mila ini didoakan oleh pendeta (seperti exorcist) untuk dijauhkan dari kejahatan iblis, kalau di Islam mungkin semacam ruqyah. Mengingat apa yang terjadi juga dengan almarhumah kakak saya dulu, Mba Iya, yang wafat karena gerd anxiety. Percayalah, gak elok kalau kita langsung men-judge orang dengan masalah mental itu semata-mata karena kurang ibadah.
Sedikit flashback, Mba Iya dulu meninggal dulu di tahun 2021, masih zamannya Covid. Punya gerd, ditambah kondisi pandemi yang serba bikin parno, rasanya jadi kombo maut yang mudah mentrigger asam lambung naik. Sama seperti yang dialami Mila, tekanan yang dialaminya menimbulkan reaksi di tubuhnya. Jadi, jika ada dari kalian mengalami hal serupa, melakukan pengobatan secara medis (professional help) dan non medis (berkaitan dengan spiritualitas) menurut saya sangat perlu dilakukan sebagai bentuk ikhtiar penyembuhan. Sebab tubuh, pikiran dan jiwa adalah satu kesatuan yang holistik (selaras dan senantiasa waras).
Tirah, Sebuah Upaya Pemulihan Jiwa
Lalu bagaimana akhir dari film A Normal Woman ini? Karakter utama kabur dan happy ending😁. Ya begitu ending ceritanya. Meski terkesan "lah udah gitu doang si Milanya kabur ke desa?". Namun, jalan yang ditempuh Mila ini bisa dibilang sebagai bentuk intervensi dalam mengatasi masalah hidupnya.
Yap, tokoh Mila ini pergi dari "kehidupannya" atau bisa disebut tirah. Tirah dalam bahasa Jawa sendiri artinya istirahat atau pergi sejenak ke tempat lain untuk memulihkan diri. Kalau dikaitkan dengan hal spiritual mungkin bisa dibilang menjauh dari kehidupan yang biasa dijalani sehari-hari untuk menenangkan diri (bisa dibilang juga buang sial).
Kalau tidak mau mengaitkan dengan hal mistis, gunakan perspektif logika. Pergi ke tempat baru, healing, or anything you name it, menurut saya itu bisa menjadi salah satu alternatif untuk membuat jiwa tetap waras. Bayangkan, bertahun-tahun hidup di tempat yang sama, dengan rutinitas yang sama, berulang, setiap harinya, apa gak mumet?. Kalau merasa "ada yang gak normal deh selama hidup di tempat ini", sebetulnya bukan diri kita yang sepenuhnya salah, tapi bisa jadi lingkungan yang memicu masalah di dalamnya.
Jadi, apa sudah waktunya saya untuk tirah juga?😁
-jurnaldhena